Mutu Pendidikan Dan Permasalahanya (TQM)

Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Tenaga guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang mempunyai peran sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan tujuan pendidikan, karena guru yang langsung bersinggungan dengan peserta didik, untuk memberikan bimbingan yang akan menghasilkan tamatan yang diharapkan. Guru merupakan sumber daya manusia yang menjadi perencana, pelaku dan penentu tercapainya tujuan organisasi lembaga pendidikan.
Guru merupakan tulang punggung dalam kegiatan pendidikan terutama yang berkaitan dengan kegiatan proses belajar mengajar. Tanpa adanya peran guru maka proses belajar mengajar akan terganggu bahkan gagal. Oleh karena itu dalam manajemen pendididikan perananan guru dalam upaya keberhasilan pendidikan selalu ditingkatkan, kinerja atau prestasi kerja guru harus selalu ditingkatkan mengingat tantangan dunia pendidikan untuk menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing diera global.

Dalam artikel kali ini akan membahas tentang kesenjangan mutu pendidikan dan penyebabnya, menjadi guru profesional sebagai faktor penentu mutu pendidikan, serta upaya peningkatan profesionalisme guru.

Mutu Pendidikan Dan Permasalahanya (TQM)

A.   Kesenjangan mutu pendidikan di indonesia dan penyebabnya

Dalam perspektif makro banyak faktor yang mempemgaruhi mutu pendidikan, diantara faktor kurikulum, kebijakan pendidikan, fasilitas pendidikan, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kegiatan proses belajar mengajaar di kelas, di laboratorium, dan di kancah belajar lainnya melalui fasilitas internet, aplikasi metode, strategi, dan pendekatan pendidikan yang mutakhir dan modern, metode evaluasi pendidikan yang tepat, biaya pendidikan yang memadai, manajemen pendidikan yang dilaksanakan secara profesional, sumberdaya manusia para pelaku pendidikan yang terlati, berpengetahuan, berpengalaman, dan profesional. Juga sangat penting adanya standar nasional pendidikan yang menjadi norma acuan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang mencakup standar: isi, proses, kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, pembiayaan dan standar penilaian pendidikan (peraturan pemerintah republik indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan).

Dalam perspeaktif mikro atau tinjauan secaara sempit dan khusus, faktor dominan yang berpengaruh dan berkontribusi besar terhadap mutu pendidikan ialah guru yang profesional dan guru yang sejahtera. Oleh karena itu, guru sebagai suatu profesi harus profesional dalam melaksanakan berbagai tugas pendidikan dan pengajaran, pembimbingan dan pelatihan yang diamanahkan kepadanya. Uraian berikut ini akan menjelaskan tentang guru profesional sebagai faktor penentu mutu pendidikan.[1]

Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Fakto-faktor tersebut yaitu:

1.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik.

Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboraturium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboraturium dan sebagainya.

2.      Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.

3.      Rendahnya Kesejahteraan Guru

Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.

4.      Rendahnya Prestasi Siswa.

Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R,1999(IEA,1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang di survey di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73, dan ke-75.

5.      Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jendral Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukkan angka partisipasi murni (AMP) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa) pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi . Angka partisipasi murni pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta siswa).

6.      Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan kebutuhan

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur . data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukkan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusa SMU sebesar 25,47 %, Diploma  SO sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%. Adanya ketidak serasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7.      Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal, kalimat ini yang sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari tamn kanak – kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak boleh sekolah.[2]

B.    Guru profesional sebagai faktor penentu mutu pendidikan


Guru sebagai tenaga profesional yang merupakan faktor penentu mutu pendidikan harus memiliki ketrampilan manajemen di sekolah dan harus berperan sebagai pengembang budaya belajar siswa. Selain itu, guru yang profesional harus memilikiwawasan pengetahuan dan pengalaman tentang sistem informasi manajemen yang dikenal dengan sebutan SIM dewasa ini.           

Guru sebagai tenaga profesional harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: 1) mempunyai komitmen terhadap siswa dan proses belajarnya, 2) menguasai mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, 3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, dan 4) mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari lingkungan profesinya. Jika guru dapat memenuhi beberapa kriteria tersebut diatas, maka para guru akan menunjukkan kinerja yang baik.[3]

Guru yang profesional itu harus memiliki enam kriteria sebagai berikut:
  1. Memahami peserta didik dengan latar belakang dan kemampuannya.
  2. Menguasai disiplin ilmu sebagai sumber bahan belajar, dan sebagai realms of meanings and ways of knowing.
  3. Menguasi bahan pelajaran.
  4. Memiliki wawasan kependidikan yang mendalam.
  5. Menguasai rekayasa dan teknologi pendidikan.
  6. Berkepribadian dan berjiwa Pancasila.[4]
Syarat guru yang professional adalah sebagai berikut :
  1. Seorang guru hendaklah memiliki ketaqwaan.
  2. Guru harus memiliki wawasan ilmu yang luas.
    Guru harus memiliki kesehatan baik secara jasmani dan rohani.
  3. Guru wajib berkelakuan baik.[5]

C.   Upaya peningkatan profesionalisme guru


Guru idaman merupakan produk dari keseimbangan antara penguasaan aspek keguruan dan disiplin ilmu. Keduanya tidak perlu dipertentangkan melainkan bagaimana guru tertempa kepribadiannya dan terasah aspek penguasaan materi. Kepribadian guru yang utuh dan berkualitas sangat penting karena dari sinilah muncul tanggung jawab profesional sekaligus menjadi inti kekuataan profesional dan kesiapan untuk selalu mengembangkan diri. Tugas guru adalah merangsang potensi peserta didik dan pengajarnya supaya belajar. Guru tidak membuat peserta didik menjadi pintar. Guru hanya memberikan peluang agar potensi itu ditemukan dan dikembangkan.

Sehubungan dengan hal di atas, maka upaya peningkatan profesi guru di Indonesia sekurang-kurangnya mengahadapi dan memperhitungkan empat faktor, yaitu :

1.        Ketersediaan dan Mutu Calon Guru

Secara jujur kita akui pada masa lalu dan masa kini profesi guru kurang memberikan rasa bangga diri. Bahkan ada guru yang malu disebut sebagai guru. Rasa inferior terhadap potensi lain masih melekat di hati banyak guru. Masih jarang kita mendengar dengan suara lantang guru mengatakan “inilah aku”.

Kurangnya rasa bangga itu akan mempengaruhi motivasi kerja dan citra masyarakat terhadap profesi guru. Banyak guru yang secara sadar atau tidak sadar mempromosikan kekurangbanggaannya kepada masyarakat. Ungkapan “cukuplah saya sebagai guru” sering masih terdengar dari mulut guru. Ungkapan ini lalu diterjemahkan sebagai profesi yang kurang menjanjikan masa depan yang kurang cerah. Muramnya masa depan itu sering didendangkan secara berlebihan seolah-olah profesi termalang dibumi tercinta ini.

Selama ini pilihan lulusan SMTA studi di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (pendidikan pra-jabatan) masih belum merata mencerminkan pilihan utama yang sadar. Akibatnya jika mereka menjadi guru tentu tidak sepenuh hati memahami dan menghayati makna profesi keguruan. Jabatan fungsional diharapkan menjadi daya pikat tersendiri terhadap profesi guru. Daya pikat itu merefleksikan masyarakat untuk memberikan makna tersendiri baik dalam upaya membangkitkan rasa bangga diri maupun dalam usaha mencari bibit guru berkualitas.

2.        Pendidikan Pra-Jabatan

Bidang pekerjaan guru hanya pantas memperoleh penghargaan khusus, apabila jajaran guru memberikan layanan ahli, yang hanya bisa diberikan melalui pendidikan pra-jabatan. Sebaliknya mereka tidak pernah melalui jenjang pendidikan pra-jabatan, tidak mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan layanan yang khas dimaksud. Ada dua langkah yang perlu diambil untuk mencapai keadaan yang dikehendaki itu.

Pertama, untuk meyakinkan pemilikan kemampuan profesional awal, saringan calon peserta pendidikan pra-jabatan perlu dilakukan secaara efektif, baik dari segi kemampuan potensial, aspek-aspek kepribadian yang relevan, maupun motivasi. Di samping mempersyaratkan mekanisme saringan yang efektif, bidang pekerjaan guru akan memperoleh calon yang bermutu jika saringan yang dilakukan terhadap calon yang relatif bermutu pula. Dengan kata lain, keadaan demikian didukung oleh sistem imbalannya membuat putra putri terbaik kita tertarik untuk memasuki bidang pekerjaan guru.

Kedua, pendidikan pra-jabatan harus benar-benar secara sistematis menyiapkan calon guru untuk menguasai kemampuan profesional. Ada yang berpendapat bahwa untuk menjadi guru hanya diperlukan penguasaan mantap bidang ilmu sumber bahan ajaran kemampuan keguruan untuk dapat mengolah dan menyajikan bahan itu kepada peserta didik akan tumbuh sendiri dari pengalaman. Sedangkan pihak lain berpendapat bahwa apabila calon guru menguasai bidang ilmu sumber bahan ajaran dan apabila mereka diberikan ilmu pendidikan dan teknik mengajar maka proses sintesis ke dalam bentk kemampuan keguruan bisa dilakukan sendiri-sendiri, cepat atau lambat. Dengan perkataan lain, persiapan memang diperlukan, namun terbatas pada pembekalan ilmu pendidikan dan teknologi mengajar, yang secara sendiri-sendiri dicobaterapkan oleh masing-masing calon yang telah menguasai ilmu bahan ajaran.

Sedangkan penganut penyelenggara pendidikan pra-jabatan yang sistematis berpendapat bahwa di samping mempersyaratkan penguasaan bidang ilmu sumber bahan ajaran, pekerjaan profesional keguruan juga memerlukan wawasan kependidikan serta pengetahuan dan keterampilan keguruan. Selanjutnya, penguasaan bidang ilmu sumber bahan ajaran dan teori serta kemampuan keguruan kependidikan itu hanya mungkin terintegrasi ke dalam kiat pembelajaran, apabila pengalaman belajar di dalam pendidika pra-jabatan menyediakan peluang bagi pembentukan kemampuan keguruan-kependidikan itu secara sistematis. Dengan perkataan lain, pendidikan pra-jabatan guru harus berhasil membentuk penghayatan tentang manusia dan masyarakat masa depan Indonesia yang dikehendaki, memahami manusia dan masyarakat Indonesia masa kini yang menjadi subjek dan latar garapannya, disamping menguasai bahan serta prosedur pengajaran yang mendidik yang dipandu oleh ketanggapan yang berlandaskan kearifan, sehingga lulusannya mampu mengelola progam belajar mengajar demi urunan nyata bagi perwujudan manusia dan masyarakat masa depan Indonesia yang dicita-citakan.

Jelaslah bahwa pendidikan pra-jabatan guru diselenggarakan secara benar-benar mantap, apabila kita menginginkan jajaran guru terdiri dari tenaga-tenaga profesional.


3.        Mekanisme Pembinaan dalam Jabatan

Ada tiga upaya dalam penyelenggaraan berbagai aspek dan tahap penanganan pembinaan dalam jabatan profesionl guru. Ketiga upaya itu adalah sebagai berikut:

Pertama, mekanisme dan prosedur penghargaan aspek layanan ahli keguruan perlu dikembangkan. Berlainan dengan jenjang pendidikan tinggi yang telah memberlakukan mekanisme ini dalam waktu yang relatif lama, jenjang pendidikan dasar dan menengah sama sekali belum berpengalaman dalam hal ini. Bukan hanya itu, apabila jenjang pendidikan tinggi mempunyai kultur kolegial yang telah bertradisi cukup panjang, sebaliknya dunia pendidikan dasar dan menengah ditandai dengan struktur hierarkis yang mantap.

Kedua, sistem penilaian di jenjang SD dan juga sistem kepengawasan di jenjang SMTA yang berlaku sekarang jelas memerlukan penyesuaian-penyesuaian mendasar. Tidak lagi dibenarkan seorang kepala satu jenis SMTA dipromosikan menjadi pengawas, apalagi untuk jenis SMTA yang lain. Bahkan untuk jenjang SMTA mungin sudah harus dipikirkan kebutuhan pengawas bidang studi, meskipun hubungan hierarkisnya dengan para guru di lapangan memerlukan banyak penyesuaian.

Ketiga, keterbukaan informasi juga mempersyaratkan keluasan kesempatan untuk meraih kualifikasi normal yang lebih tinggi, katakanlah S1 dan bahkan S2 dan S3. Apabila 25% saja dari jajaran guru SD berkesempatan untuk menduduki jenjang kepangkatan untuk mempersyaratkan pendidikan S2 dan 3% berkesempatan menduduki jenjang kepangkatan yang mempersyaratkan jenjang S3, dapat dibayangkan tambahan pekerjaan yang perlu ditangani oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan, baik dari segi daya tampung maupun dari segi pengembangan progam yang diperlukan. Sebab dengan mudah dapat dibayangkan bahwa sekali lagi demi keandalan layanan ahli yang dibutuhkan sistem pendidikan, progam-progam yang baru perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan dari segi daya tampung, mekanisme pengumpulan kredit yang tidak seluruhnya mempersyaratkan kehadiran penuh di kampuus sebagaimana tealh lumrah dinegara maju, harus secepatnya mulai dikembangkan.[6]

Pengembangan sikap professional tidak berhenti apabila calon guru mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap professional keguruan dalam masa pengabdiannya sebagai guru. Seperti telah disebut, peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya, ataupun secara informal melalui media massa televisi, radio, koran, dan majalah maupun publikasi lainnya. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap profesonal keguruan.[7]

4.        Peranan Organisasi Profesi

Di atas telah dikemukakan bahwa pengawasn mutu layanan suatu bidang profesional dilakukan secara kesejawatan, baik melalui perorangan maupun melalui organisasi profesi. Pengawasan dilakukan bukan atas dasar kekuasaan seperti yang terjadi di lingkungan serikat buruh. Sebaliknya pengawasaan dilakukan oleh kelompok ahli yang dipandu oleh nilai-nilai profesi sejati, yaitu pengabdian keahlian bagi kemaslahatan orang banyak.

Penanganan yang tepat terhadap semua aspek dan tahap sistem pengadaan guru, yaitu perekrutan, pendidikan pra-jabatan, pengangkatan-pengangkatan dan pembinaan dalam jabatan (Inservice training) akan berdampak positif dalam profesionalisasi jabatan guru, yang diberi peluang besar oleh keputusan pemerintah untk memfungsionalisasikan jabatan guru.

Pemberian imbalan yang kenyataannya tidak didasarkan kepada penghargaan terhadap layanan ahli, akan menjadi bumerng yaitu dana imbalan yang lebih besar diberikan kepada pihak yang tidak berhak, kepentingan masa depan bangsa terabaikan, jajaran profesional keguruan gagaldiwujudkan dan digantikan oleh kelompok yang memperoleh hak khusus karena kesempatan, bukan karena layanan ahlinya yang terandalkan. Oleh karena itu, kita berharap mudah-mudahan pengambil keputusan organisasi profesi, jajaran keguruan, dan masyarakat luas diberi kejernihan pikiran dan keteguhan pendirian dalam mengupayakan segala yang perlu, untuk mewujudkan dan meningkatkan upaya profesionalisasi jabatan guru melalui fungsionalisasi jabatannya di Indonesia.[8]

FOOTNOTE

[1] Hadis abdul dan B. nurhayati, Manajemen Mutu Pendidikan, bandung:alfabeta, 2014, hlm. 3-4

[2] http://kafeilmu.com/2010/09/cara-bagaimana-meningkatkan-mutu pendidikan.html pada tanggal 05 oktober 2016 pada waktu 09.12

[3] Hadis abdul dan B. nurhayati, Manajemen Mutu Pendidikan, bandung:alfabeta, 2014, hlm. 3-4

[4] Jamal Ma’mur Asmani, Tips Sukses PLPG, Jogjakarta, Diva Press, 2011, hlm 59

[5] Manpan Drajat dan Ridwan Effendi, Etika Profesi Guru, Bandung, Alfabeta, 2014, hlm 48

[6] Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta, Ciputat Pers, 2002, hlm 24-28

[7] Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1999, hlm 55

[8] Syafruddin Nurdin dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta, Ciputat Pers, 2002, hlm 29-32

DAFTAR PUSTAKA


Hadis, abdul dan B, Nurhayati. 2014. Manajemen Mutu Pendidikan. Bandung: alfabeta.
Ma’mur Asmani, Jamal. 2011. Tips Sukses PLPG. Jogjakarta: Diva Press.
Drajat, Manpan dan Effendi, Ridwan. 2014. Etika Profesi Guru. Bandung: Alfabeta
Nurdin, Syafruddin dan Usman, Basyiruddin. 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Pers.
Soetjipto dan Kosasi, Raflis. 1999. Profesi Keguruan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Makalah ini terdiri dari beberapa sumber internet antara lain :
http://kafeilmu.com.2010.09. cara-bagaimana-meningkatkan-mutu pendidikan.html pada tanggal 05 oktober 2016 pada waktu 09.12

0 Response to "Mutu Pendidikan Dan Permasalahanya (TQM)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel